Selamat Datang di Fery Musyafir Zone

Sunday, November 27, 2011

Kisah mengharukan tentang perjuangan seorang istri yg tegar…

Cerita ini adalah kisah nyata…dimana perjalanan hidup ini ditulis oleh seorang istri dalam sebuah laptopnya.

Bacalah semoga kisah nyata ini menjadi pelajaran bagi kita semua

Cinta itu butuh kesabaran…

Sampai dimanakah kita harus bersabar menanti cinta kita ???
************************************************************************************
Hari itu,,,aku dengan nya berkomitmen untuk menjaga cintakita.
Aku menjadi perempuan yg paling bahagia. Pernikahan kami sederhana tapi sangat meriah. Ia menjadi pria yang sangat romantisan pada waktu itu. Menikah dengan seorang pria yang shaleh, pintar, tampan & mapan pula. Ketika kami pacaran dia sudah sukses dalam karir nya. Kami berbulan madu di tanah suci, itu janjinya ketika kami berpacaran

Setelah menikah aku mengajaknya untuk umroh ke tanah suci. Aku sangat bahagia dengan nya, dia sangat memanjakan aku, Sangat terlihat rasa cinta dan sayangnya pada ku. Banyak orang yang bilang,kami pasangan yang serasi. Sangat terlihat sekali bagaimana suamiku memanjakanku. Aku bahagia menikah dengannya.

*************************************************************************************
5 Tahun sudah kami menikah, sangat tak terasa waktu berjalan, walaupun kami hanya berdua saja.
Karena sampai saat ini aku belum bisa memberikannya seorang malaikat kecil di tengah keharmonisan rumah tangga kami.
Karena dia anak lelaki satu – satunya dalam keluarganya, jadi aku harusberusaha untuk dapat meneruskan generasi nya.

Alhamdulillah suamiku mendukung ku. Ia mengaggap Allah belum mempercayai kami untuk menjaga titipan NYA. Tapi keluarga nya mulai resah, Dari awal kami menikah ibu & adiknya tidak menyukaiku, aku sering mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari mereka, tapi aku menutupi dari suami ku. Didepan suami ku, mereka sangat baik pada ku, tapi dibelakang suami ku, aku dihina – hina oleh mereka.

Pernah suatu ketika, 1 tahun usia pernikahan kami, suamiku mengalami kecelakaan, mobilnya hancur tp alhamdulillah suami ku selamat dari maut yang hamper membuat ku menjadi seorang janda. Ia dirawat dirumah sakit, pada saat dia belum sadarkan diri, aku selalu menemaninya siang & malam, kubacakan ayat – ayat suci Al – Qur’an, aku sibuk bolak – balik rumah sakit dan tempat aku melakukan aktivitas sosialku, aku sibuk mengurus suamiku yang sakit karena kecelakaan. Ketika aku kembali ke rumah sakit setelah dari rumah kami, aku melihat didalam kamarnya ada ibu, adik – adiknya dan teman – teman suamiku, dan satu lagi aku melilhat seorang wanita yg sangat akrab dengan ibunya. Mereka tertawa menghibur suamiku.

Alhamdulillah suamiku ternyata sudah sadar, aku menangis ketika melihat suami ku sudah sadar, tapi aku tak boleh sedih di depannya. Kubuka pintu yg tertutup rapat itu, sambil mengatakan “Assalammu’alaikum” mereka menjawab salam ku. Aku berdiam sejenak di depan pintu dan mereka
semua melihatku, suamiku menatapku penuh manja, mungkin ia kangen padaku karena sudah 5 hari mata nya selalu tertutup. Tangannya melambai, mengisyaratkan aku untuk memegang tangannya yg erat. Setelah aku menghampirinya, kucium tangannya sambil berkata “Assalammu’alaikum” , ia pun
menjawab salam ku dengan suaranya yg lirih tapi penuh dengan cinta. Aku pun senyum melihat
wajahnya.Ibu nya lalu berbicara sama aku .
“Fis, kenalakan ini Desi teman Fikri”
Aku teringat cerita dari suamiku bahwa teman baiknya pernah mencintainya, perempuan itu bernama Desi, dan dia sangat akrab dengan keluarga suamiku. Dan akhirnya aku bertemu dengan orangnya juga.
Aku pun langsung berjabat tangan dengannya, tak banyak aku biacara di dalam ruangan, karena aku tak mengerti apa yg mereka bicarakan.

Aku sibuk membersihkan & mengobati luka – luka di kepala suamiku, baru sebentar aku membersihkan mukanya, tiba – tiba adik ipar ku yg bernama Dian mengajakku keluar, ia minta ditemani ke kantin. Dan suamiku pun mengijinkannya. Aku pun menemaninya. Tapi ketika di luar adik ipar ku berkata ” lebih baik kau pulang saja ” Ada kami yg menjaga abang disini. “Kau istirahat saja”. Aku pun tak diperbolehkan berpamitan dengan suamiku dengan alasan abang harus banyak beristirahat, karena keadaannnya masih labil. Aku berdebat dengannya mengapa aku tidak boleh pamitan pada suamiku, tapi tiba – tiba ibu mertuaku datang menghampiriku dan ia mengatakan hal yg sama, ia akan member i alasan pada suamiku mengapa aku pulang tak pamitan pada nya, toh suamiku selalu menurut apa kata ibunya, baik ibunya salah suamiku tetap saja membenarkannya, akhirnya aku pun pergi meninggalkan rumah sakit itu dengan linangan air mata. Sejak saat itu aku tidak pernah diijinkan menjenguk suamiku sampai ia kembali dari rumah sakit. Dan aku hanya bisa menangis dalam kesendirianku. Menangis mengapa mereka sangat membenciku.

************ ********* ********* ********* ********************************************
Hari itu, aku menangis tanpa sebab, yang ada di benakku aku takut kehilangannya, aku takut cintanya dibagi dengan yang lain. Pagi itu, pada saat aku membersihakn pekarang rumah kami, suamiku memanggil ku ke taman belakang, ia baru aja selesai sarapan, ia mengajakku duduk di ayunan favorit
kami, sambil melihat ikan – ikan yang bertaburan di kolam air mancur itu.
Aku bertanya ” Ada apa kamu memanggil ku ?”
Ia berkata ” Besok aku akan menjenguk keluargaku di Sabang ”
Aku menjawab ”Ia sayang aku tahu, aku sudah mengemasi barang – barang kamu di travel bag dan kamu sudah pegang tiket bukan ?”
“Ya tapi aku tak akan lama disana, cuma 3 minggu aku disana, aku juga sudah lama tidak bertemu dengan keluarga besarku sejak kita menikah dan aku kan pulang dengan mama ku”. Jawab nya tegas
“Mengapa baru bicara, aku pikir hanya seminggu saja kamu disana ?” tanya ku balik kepada nya penuh dengan rasa penasaran dan sedikit rasa kecewa karena ia baru memberitahu rencana kepulanggannya itu, padahal aku bersusah payah mencarikan tiket pesawat untuknya.
” Mama minta aku yang menemani nya saat pulang nanti ” jawab nya tegas.
” Sekarang aku ingin seharian dengan kamu, karena nanti kita 3 minggu tidak bertemu, ya kan ?” lanjut nya lagi sambil memeluk ku dan mencium keningku. Hatiku sedih, dengan keputusannya, tapi tak boleh aku tunjukkan pada nya. Bahagianya aku, dimanja dengan suami yang penuh dengan rasa sayang & cintanya. Walau terkadang ia bersikap kurang adil terhadapku.

Aku hanya bisa tersenyum saja, padahal aku ingin bersama suamiku, tapi karena keluarga nya tidak menyukaiku hanya karena mereka cemburu pada ku karena suamiku sangat sayang pada ku, aku memutuskan agar ia saja yg pergi, dan kami juga harus berhemat dalam pengeluaran anggaran rumah tangga kami. Karena ini acara sakral bagi keluarganya. Jadi seluruh keluarga nya harus komplit, aku pun tak diperdulikan oleh keluarganya harus datang atau tidak, tidak hadir justru membuat mereka sangat senang, aku pun tak mau membuat riuh keluarga ini.

Malam sebelum kepergiannya, aku menangis sambil membereskan keperluannya yang akan dibawa ke Sabang, ia menatapku dan menghapus airmata yang jatuh dipipiku lalu aku peluk erat dirinya, hati ini bergumam seakan terjadi sesuatu, tapi aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku hanya bisa menangis
karena akan ditinggal pergi olehnya.

Aku tidak pernah di tinggal pergi selama ini, karena kami selalu bersama -sama kemana pun ia pergi.
Apa mungkin aku sedih karena aku sendirian tidak punya teman, hanya pembantu saja teman ngobrolku. Hati ini sedih akan di tinggal pergi oleh nya. Sampai keesokan hari nya, aku menangis, menangisi kepergiannya. Aku tak tahu mengapa sesedih ini, perasaanku tak enak, tapi aku tak boleh berburuk sangka. Aku harus percaya apada suamiku. Dia pasti akan selalu menelpon ku.

*************************************************************************************
Berjauhan dengan suamiku, sangat tidak nyaman, aku merasa sendiri. Untunglah aku mempunyai kesibukan sebagai seorang aktivis, jadi aku tak terlalu kesepian di tinggal pergi ke Sabang. Saat kami berhubungan jarak jauh, komunikasi kami buruk,saat ia di sana aku pun jatuh sakit. Rahimku sakit sekali seperti dililit oleh tali, tak tahan aku menahan rasa sakit dirahimku ini, sampai – sampai aku mengalami pendarahan, aku dilarikan ke rumah sakit oleh adik laki-lakiku yang kebetulan menemaniku disana. Dokter memvonis aku terkena kanker mulut rahim stadium 3. Aku menangis, apa yang bisa aku banggakan lagi, mertuaku akan semakin menghinaku, suami ku yang malang, yang berharap akan punya keturunan dari rahimku. Aku tak bisa memberikannya keturunan. Dan aku hanya memeluk adikku.

Aku kangen pada suamiku, aku menunggu ia pulang, kapan ia pulang, aku tak tahu.
Sementara suamiku disana,,aku tidak tahu mengapa ia selalu marah – marah jika menelponku, bagaimana aku akan cerita kondisiku jika ia selalu marah-marah terhadapku. Lebih baik aku tutupi dulu,dan aku juga tak mau membuatnya khawatir selama ia berada di Sabang. Lebih baik nanti saja ketika ia sudah pulang dari Sabang, aku akan cerita pada nya. Setiap hari aku menanti suami ku pulang, hari demi hari aku hitung.

Sudah 3 minggu suamiku di Sabang, malam itu ketika aku sedang melihat foto – f oto kami, ponselku berbunyi, menandakan ada sms yang masuk. Ku buka di inbox ponselku, ternayta dari suamiku yang sms, ia menulis “aku sudah beli tiket untuk pulang, aku pulang nya satu hari lagi, aku aku kabarin lagi”. Hanya itu saja yang diinfokannya, aku ingin marah, tapi aku pendam saja ego yang tidak baik ini. Hari yg aku tunggu pun tiba, aku menantinya di rumah. Sebagai seorang istri, aku pun berdandan yang cantik dan memakai parfum kesukaannya untuk menyambut suamiku pulang, dan aku akan menyelesaikan
masalah komunikasi kami yg buruk akhir – akhir ini. Bel pun berbunyi, kubuka kan pintu untuknya ia pun mengucap salam, sebelum masuk aku pegang tangannya ke depan teras, ia tetap berdiri, aku membungkuk untuk melepaskan sepatu, kaos kaki dan ku cuci kedua kakinya, aku tak mau ada syaithan yang masuk ke dalam rumah kami, setelah itu aku pun berdiri langsung mencium tangannya tapi apa reaksi nya.
Masya Allah ia tidak mencium keningku, ia langsung naik keatas, ia langsung mandi dan tidur,tanpa bertanya kabarku. Aku hanya berpikiran, mungkin dia capek. Aku pun segera merapikan bawaan nya sampai aku pun tertidur. Malam menunjukkan ½ malam, mengingatkan aku pada tempat mengadu yaitu Allah, Sang Maha Pencipta. Biasa nya kami selalu berjama’ah, tapi karena melihat nya tidur sangat
pulas, aku tak tega membangun kannya, aku helus mukanya, aku cium kening nya, lalu aku sholat tahajud 8 rakaat plus witir 3 raka’at.

************************************************************************************

Aku mendengar suara mobinya, aku terbangun lalu aku liat dia dari balkon kamar kami dia bersiap – siap untuk pergi, aku memanggil nya tapi ia tak mendengar, lalu aku langsung ambil jilbabku, aku lari dari atas ke bawah tanpa memperdulikan darah yg bercecer dari rahimku, aku mengejarnya tapi ia begitu cepat pergi, ada apa dengan suamiku. Mengapa ia sangat aneh terhadapku ?
Aku tidak bisa diam begitu saja firasatku ada sesuatu. Saat itu juga aku langsung menelpon kerumah mertuaku, kebetulan Dian yang angkat telpon nya, aku bercerita dan aku bertanya apa yang terjadi dengan suamiku. Dengan enteng ia menjawab “Loe pikir aja sendiri !!!” telpon pun langsung diputus.

“Ada apa ini”? Tanya hatiku penuh dalam kecemasan.
“Mengapa suamiku berubah setelah ia pulang dari kota kelahirannya. Mengapa ia tak mau berbicara padaku, apalagi memanjakan ku”.
Semakin hari ia menjadi orang yang pendiam, seakan ia telah melepas tanggung jawabnya sebagai seorang suami, kami berbicara seperlunya saja, aku selalu di introgasinya, aku dari mana dan mengapa pulang terlambat, ia bertanya dengan nada yg keras, suamiku telah berubah.

Bahkan yang membuat ku kaget, aku pernah di tuduh nya berzina dengan mantan pacarku. Ingin rasanya aku menampar suamiku yang telah menuduhku serendah itu, tapi aku selalu ingat, sebagaimana pun salahnya seorang suami, status suami tetap di atas para istri, itu yang aku pegang, aku
hanya berdo’a agar suamiku sadar akan prilakunya.
************************************************************************************
2 Tahun berlalu, suamiku tak berubah juga, aku menangis tiap malam, lelah menanti seperti ini, kami seperti orang asing yang baru saja kenal, kemesraan yang kami ciptakan dulu telah sirna, walaupun
kondisinya tetap seperti itu, aku tetap merawatnya & menyiapi segala yang ia perlukan. Penyakitku pun masih aku simpan dengan baik dan ia tak pernah bertanya obat apa yang aku minum. Kebahagiaan ku telah sirna, harapan menjadi ibu pun telah aku pendam. Aku tak tahu kapan ini semua akan berakhir.
Bersyukurlah, aku punya penghasilan sendiri dari aktifitasku sebagai seorang guru ngaji jadi aku tak perlu repot – repot meminta uang pada nya hanya untuk pengobatan kankerku. Aku pun hanya berobat
semampuku.

Sungguh suami yang dulu aku puja, aku banggakan sekarang telah menjadi orang
asing, setiap aku tanya ia selalu meyuruhku untuk berpikirsendiri. Tiba – tiba saja malam itu, setelah makan malam selesai, suamiku memanggilku.
“ya ada apa Yah !” sahutku dengan memanggil nama
kesayangannya “Ayah”
“Lusa kita siap – siap ke Sabang ya !” Jawabnya tegas
“Ada apa ?” Mengapa ?” sahutku penuh dengan keheranan Astaghfirullah, suami ku yang dulu lembut menjadi kasar, dia mebentakku, tak ada lagi diskusi anatara kami.
Dia mengatakan ” Kau ikut saja jgn byk tanya !!! ”
Aku pun lalu mengemasi barang – barang yang akan dibawa ke Sabang sambil menangis, sedih karena suamiku yang tak ku kenal lagi.

2 Tahun pacaran, 5 tahun kami menikah dan sudah 2 tahun pula ia menjadi orang asing buat ku. Ku lihat kamar kami yg dulu hangat penuh cinta yang dihiasi foto pernikahan kami sekarang menjadi dingin, sangat dingin dari batu es. Aku menangis dengan kebingungan ini. Ingin rasanya aku berontak tapi aku tak bisa, suamiku tak suka dengan wanita yang kasar, ngomong dengan nada tinggi, suka membanting barang – barang, dia bilang perbuatan itu menunjukkan ketidakhormatan kedapanya. Aku hanya bisa
bersabar menantinya bicara dan sabar mengobati penyakitku ini sendiri.

*************************************************************************************
Kami telah sampai di Sabang, aku masih merasa lelah karena semalaman aku tidak tidur, karena terus berpikir. Keluarga besar nya telah berkumpul disana, termasuk ibu & adik – adiknya, aku tidak tahu
ada acara apa ini. Aku dan suamiku pun masuk ke kamar kami. Suamiku tak betah
didalam kamar tua itu, ia pun keluar bergabung dengan keluarga besarnya.
Baru saja aku membongkar koper kami dan ingin memasukkannya ke dlm lemari tua yg berada di dekat pintu kamar, lemari tua itu telah ada sebelum suamiku lahir. Tiba – tiba Tante Lia, tante yang sangat baik pada ku memanggil ku untuk segera berkumpul diruang tangah, aku pun ke ruang keluarga yang berada di tengah rumah besar itu, rumah zaman peninggalan belanda tinggi langit – langit nya lebih dari 4 meter. Aku duduk disamping suamiku, suamiku menunduk penuh dengan kebisuan, aku tak berani bertanya pada nya, tiba – tiba saja neneknya, orang yang dianggap paling tua dan paling berhak
atas semuanya membuka pembicaraan.

“Baiklah,karena kalian telah berkumpul, nenek ingin bicara dengan kau Fisha ! ” Nenek nya bicara sangat tegas. Dengan sorot mata yang tajam.
” Ada apa ya Nek ?” sahutku dengan penuh tanya.
Nenek pun menjawab ” Kau telah gabung dengan keluarga kami
hampir 8 tahun, sampai saat ini kami tak melihat tanda – tanda kehamilan
yang sempurna, sebab selama ini kau selalu keguguran !!’
Aku menangis, untuk inikah aku diundang kemari, untuk dihina atau dipisahkan dengan suamiku.

“Sebenarnya kami sudah punya calon untuk Fikri, dari dulu, sebelum kau menikah dengannya, tapi Fikri anak yang keras kepala, tak mau di atur, dan akhirnya menikahlah ia dengan kau.” Neneknya berbicara
sangat lantang, mungkin logat orang Sabang seperti itu semua.

Aku hanya bisa tersenyum dan melihat wajah suamiku yang kosong matanya. “Dan aku dengar dari ibu mertua mu kau pun sudah berkenalan dengannya” Neneknya masih melanjutkan pembicaraan itu.
Sedangkan suamikku hanya diam saja, tapi aku lihat air matanya. Ingin aku peluk suamiku agar ia kuat dengan semua ini, tapi aku tak punya keberanian. Nenek nya masih saja berbicara panjang lebar dan yang terakhir dari pembicaraannya ialah dengan wajah yang sangat menantang ia berkata
”kau maunya gimana ? kau di madu atau diceraikan ?”

Masya Allah kuat kan hati ini, aku ingin jatuh pingsan, hati ini seakan remuk mendengar nya, hancur hati ku, mengapa keluarganya bersikap seperti ini terhadapku.

Aku selalu munutupi masalah ini dari kedua orang tuaku yang tinggal di pulau kayu tersebut, mereka mengira aku sangat bahagia 2 tahun belakangan ini.

“Fish, jawab !! ” Dengan tegas Ibunya langsung memintaku untuk menjawab

Aku langsung memegang tangan suamiku, dengan tangan yang dingin dan gemetar aku menjawab dengan tegas.
” Walaupun aku tidak bisa berdiskusi dulu dengan imamku, tapi aku dapat berdiskusi dengannya melalui bathiniah, untuk kebaikan dan masa depan keluarga ini, aku akan menyambut baik seorang wanita baru dirumah kami.” Itu yang aku jawab, dengan kata lain aku rela cinta ku dibagi.
Pada saat itu juga suami ku memandangku dengan tetesan air mata, tapi mata ku tak sedikit pun menetes di hadapan mereka. Aku lalu bertanya kepada suami ku, “Ayah siapakah yang akan menjadi sahabat ku dirumah kita nanti Yah ? ”

Suamiku menjawab ” Dia Desi ! ”

Aku pun langsung menarik napas dan langsung berbicara ”Kapan pernikahan nya berlangsung?” Apa yang harus saya siapkan dalam pernikahan ini Nek ?”

Ayah mertuaku menjawab “Pernikahannya 2 minggu lagi.”

” Baiklah kalo begitu saya akan menelpon pembantu di rumah, untuk menyuruh nya mengurus KK kami ke kelurahan besok” setelah berbicara seperti itu aku permisi untuk pamit ke kamar. Tak tahan lagi, air mata ini akan turun, aku berjalan sangat cepat, aku buka pintu kamar, aku langsung duduk di tempat tidur. Ingin berteriak, tapi aku sendiri disini. Tak kuat rasanya menerima hal ini, cintaku telah
dibagi, sakit. Diiringi akutnya penyakitku. Apakah karena ini suamiku menjadi orang yang asing selama 2 tahun belakangan ini ?
Aku berjalan menuju ke meja rias, ku buka jilbabku, aku bercermin sudah tidak cantikkah aku ini, ku ambil sisirku, aku menyisiri rambutku yang setiap hari rontok, ku lihat wajahku, ternyata aku memang sudah tidak cantik lagi, rambutku sudah hampir habis, kepalaku sudah botak dibagian tengahnya.

Tiba – tiba pintu kamar ini terbuka, ternyata suami ku datang, ia berdiri dibelakangku, tak kuhapus air mata ini aku langsung memandangnya dari cermin meja rias itu. Kami diam sejenak, lalu aku mulai pembicaraan “terimah kasih ayah, kamu memberi sahabat kepada ku, jadi aku tak perlu sedih lagi
saat ditinggal pergi kamu nanti ! iya kan ?”
Suami ku mengangguk sambil melihat kepalaku tapi tak sedikitpun ia tersenyum dan bertanya knp rambutku rontok, dia hanya mengatakan jangan salah memakai shampo, dalam hati ku mengapa ia sangat cuek ? ia sudah tak memanjakan ku lagi.
Lalu dia bilang bilang “sudah malam, kita istirahat yuk ” !
“Aku sholat isya dulu baru aku tidur” jawab ku tenang.

Dalam sholat, dalam tidur aku menangis, ku hitung waktu, kapan aku akan berbagi suami dengannya. Aku pun ikut sibuk mengurusi pernikahan suamiku. Aku tak tahu kalo Desi orang Sabang juga. Sudahlah ini mungkin takdirku. Aku ingin suamiku kembali seperti dulu, yang sangat memanjakan aku, diamana rasa sayang dan cintanya itu. Malam sebelum hari pernikahan suamiku, aku menulis curahan hatiku di laptopku.

Di laptop aku menulis saat – saat terakhirku melihat suamiku, aku marah pada suamiku yang telah menelantarkanku. Aku menangis melihat suamiku yang tidur pulas, apa salahku sampai ia berlaku kejam kepada ku. Aku save di my document yang bertitle “Aku mencintaimu Suamiku ”

Hari pernikahan telah tiba, aku telah siap, tapi aku tak sanggup untuk keluar, aku berdiri didekat jendela, aku melihat matahari, mungkin aku takkan bisa melihat sinarnya lagi. Aku berdiri sangat lama, lalu suamiku yang telah siap dengan pakaian pengantinnya masuk dan berbicara padaku.

“Apakah kamu sudah siap ?” Kuhapus airmata yang menetes diwajahku sambil berkata :
“Nanti jika ia telah sah jadi istrimu, ketika kamu membawa ia masuk ke dalam rumah ini, cucilah kaki nya sebagaimana kamu mencuci kaki ku dulu, lalu ketika kalian masuk ke dalam kamar pengantin bacakan do’a di ubun – ubunya sebagaimana yang kamu lakukan pada ku dulu lalu setelah itu…..” tak sanggup aku ingin meneruskan pembicaraan ini, aku ingin menagis meledak.

Tiba – tiba suamiku menjawab “lalu apa Bunda ?”

Aku kaget mendengar kata itu, yang tadinya aku menunduk,aku langsung menatapnya dengan mata yang berbinar – binar.
“bisa kamu ulangi apa yang kamu ucapkan barusan ?” pinta ku tuk menyakini bahwa kuping ini tidak salah mendengar.

Dia mengangguk dan berkata ” Baik bunda akan ayah ulangi, lalu apa bunda ?” sambil ia menghelus wajah dan menghapus airmataku, dia agak sidikit membungkuk karena dia sangat tinggi, aku hanya sedada nya saja.

Dia tersenyum, sambil berkata ” Kita liat saja nanti ya !” dia memelukku dan berkata, “bunda adalah wanita yang paling kuat yang ayah temui selain mama” lalu ia mencium keningku, aku langsung memeluk nya erat dan berkata ”Ayah, apakah ini akan segera berakhir ? Ayah kemana saja ?
Mengapa ayah berubah ? Aku kangen sama ayah ? Aku kangen belaian kasih sayang ayah? Aku kangen
dengan manjanya ayah ? Aku kesepian ayah ? Dan satu hal
lagi yang harus ayah tau bahwa aku tidak pernah berzinah ! Dulu waktu awal kita pacaran,aku
memang belum bisa melupakannya, setelah 4 bulan bersama ayah baru bisa aku terima, jika yang dihadapanku itu adalah lelaki yang aku cari.” Bukan bearti aku pernah berzina ayah. Aku langsung bersujud di kakinya dan muncium kaki imamku sambil berkata “Aku minta maaf ayah telah membuatmu susah” Saat itu juga, diangkatnya badanku,ia hanya menangis. Ia memelukku sangat lama, 2 tahun aku menanti dirinya kembali. Tiba – tiba perutku sakit, ia menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan ku, dan ia bertanya ” bunda baik – baik saja kan” tanya nya dengan penuh khawatir.
“aku pun menjawab, bisa memeluk dan melihat kamu kembali seperti dulu itu sudah mebuatku baik Yah” aku tak bisa bicara sekarang.
Karena dia akan menikah. Aku tak mau buat dia khawatir. Dia harus khusyu menjalani acara prosesi akad nikah tersebut.

*************************************************************************************
Setelah tiba dimasjid, ijab qabul pun dimulai. Aku duduk di sebrang suamiku. Aku melihat suamiku duduk berdampingan dengan perempuan itu membuat hati ini cemburu, ingin berteriak mengatakn “Ayah Jangan” tapi aku ingat akan kondisi ku. Jantung ini berdebar kencang, ketika mendengar ijab qabul tersebut. Begitu ijab qabul selesai, aku menarik napas panjang, Tante Lia, tante yang baik itu, memelukku. Dalam hati aku berusaha untuk menguatkan hati ini, ya “aku kuat”. Tak sanggup aku melihat mereka duduk bersanding di pelaminan. Orang – orang yang hadir di acara resepsi itu iba melihatku, mereka melihatku sangat aneh, wajahku yang selalu tersenyum tapi hatiku menangis.
Sampai dirumah, suamiku langsung masuk ke dalam rumah begitu saja, tak mencuci kaki nya. Aku sangat heran dengan prilaku nya. Apa iya, dia tidak suka dengan pernikahan ini ?
Sementara itu Desi sambut hangat di dalam keluarga suamiku,tak seperti aku yang di musuhinya. Malam ini aku tak bisa tidur, bagaimana bisa !! Suamiku akan tidur dengan perempuan yang sangat aku cemburui. Aku tak tau apa yang mereka lakukan didalam.

½ malam, pada saat aku ingin sholat lail aku keluar untuk berwudhu, aku melihat ada lelaki yang mirip suamiku tidur disofa ruang tengah, ku dekati lalu ku lihat. Masya Allah, suamiku tak tidur dengannya,ia tidur disofa, aku duduk disofa itu sambil menghelus mukanya yang lelah, tiba – tiba ia memegang tangan kiriku, tentu saja aku kaget.

“kamu datang ke sini, aku pun tau ” ia langsung berkata seperti itu, aku tersenyum dan megajaknya sholat lail. Setelah sholat lail, ia mengatakan

“maafkan aku, aku tak boleh menyakitimu, kamu menderita
karena ego nya aku. Besok kita pulang ke Jakarta, biar Desi pulang dengan mama,papa Dan juga adik – adikku”

Aku menatapnya dengan penuh keheranan. Tapi ia langsung mengajakku untuk istirahat. Saat tidur ia memelukku sangat erat. Aku tersenyum saja, sudah lama ini tidak terjadi. Ya Allah, apakah Engkau akan
menyuruh malaikat maut untuk mengambil nyawaku sekarang ini, aku telah meresakan kehadirannya saat ini. Tapi masih bisakah engaku ijinkan aku untuk mersakan kehangatan dari suamiku yang telah hilang selama 2 tahun ini.

Suamiku berbisik, “Bunda kok kurus ?” Aku menangis dalam kebisuan. Pelukannya masih bisa aku rasakan.
Aku pun berkata “Ayah kenapa tidak tidur dengan Desi ?”

” Aku kangen sama kamu Bunda ” Aku tak mau menyakitimu lagi, kamu sudah terluka oleh sikapku yang egois” Dengan lembut suamiku menjawab seperti itu.

Lalu suamiku berkata, ” Bun, ayah minta maaf telah menelantarkan bunda. Selama ayah di Sabang, ayah dengar kalo bunda tidak tulus mencintai ayah, bunda seperti mengejar sesuatu, seperti harta ayah, dan satu lagi ayah pernah melihat sms bunda dengan mantan pacar bunda dimana isinya klo bunda
Tidak msu berbuat seperti itu, dan seperti itu di beri tandakutip ( “seperti itu” ), ayah ingin ngomong tapi takut bunda tersinggung, dan ayah berpikir klo bunda pernah tidur dengannya sebelum bunda bertemu ayah, terus ayah dimarahi oleh keluar ayah karena ayah terlalu memanjakan bunda ”

Hati ini sakit ketika difitnah oleh suamiku, ketika tidak ada kepercayaan didirinya, hanya karena omongan keluarganya, yang tidak pernah melihat betapa tulusnya aku mencintai pasangan seumur hidupku ini.

Aku hanya menjawab “Aku sudah ceritakan itu kan Yah, aku tidak pernah berzinah, dan aku mencintaimu setulus hatiku, jika aku hanya mengejar hartamu, mengapa kamu, banyak lelaki yang lebih mapan darimu waktu itu Yah. Jika aku hanya mengejar hartamu, aku tak mungkin setiap hari menangis karena menderita mencintaimu”.

Entah aku harus bahagia atau aku harus sedih karena sahabatku sendirian di kamar pengantin itu. Malam itu, aku menyelesaikan masalahku dengan suamiku dan berusaha memaafkannya beserta sikap keluaraganya juga. Karna aku tak mau mati dalam hati yang penuh denagn rasa benci.

*************************************************************************************

Keesokan harinya. Katika aku ingin bangun untuk mengambil wudhu, kepalaku pusing, rahimku sakit sekali. Aku pendarahan, suamiku kaget. Suamiku kaget bukan main, ia langsung menggendongku.
Aku pun dilarikan ke rumah sakit, Jauh sekali aku mendengar suara zikir suamiku. Aku merasakan tanganku basah. Ketika kubuka mata ini, kulihat wajah suamiku penuh dengan rasa kekhawatiran.

Ia menggenggam tanganku dengan erat.. Dan mengatakan ”Bunda,,Ayah minta,,,,!!”

Berapa kali ia mengucapkan hal itu. Dalam hati ku, apa ia tahu apa yang terjadi padaku?.

Aku berkata dengan suara yang lirih ” Yah….Bunda ingin pulang,,bunda ingin bertemu kedua orang tua bunda, anterin bunda kesana ya Yah….”
“Ayah jangan berubah lagi ya !!! Janji ya Yah… !!! Bunda sayang banget
sama Ayah ”

Tiba – tiba saja kakiku sakit sangat sakit, sakit nya semakin keatas, kakiku sudah tak bisa bergerak lagi, aku tak kuat lagi memegang tangan suamiku, kulihat wajahnya yang tampan, linangan air matanya. Sebelum mata ini tertutup ku lafazkan kalimat syahadat dan ditutup dengan kalimat tahlil.

*************************************************************************************

Aku bahagia melihat suamiku punya pengganti diriku. Aku bahagia selalu melayaninya dalam suka dan duka. Menemaninya dalam ketika ia mengalami kesulitan dari kami pacaran samapai kami menikah.
Aku bahagia bersuamikan dia. Dia adalah nafas ku.

Untuk Ibu mertuaku : “Maafkan aku telah hadir didalam kehidupan anakmu sampai aku hidup didalam hati anakmu, ketahuilah Ma, dari dulu aku selalu berdo’a agar Mama merestui hubungan kami. Mengapa engkau fitnah diriku didepan suamiku, apa engkau punya bukti nya Ma. Mengapa
engkau sangat cemburu padaku Ma ? Fikri tetap milikmu Ma, aku tak pernah menyuruhnya untuk durhaka kepadamu, dari dulu aku selalu mengerti apa yang kamu inginkan dari anakmu, tapi mengapa kau benci diriku. Dengan Desi kau sangat baik tetapi dengan ku, menantumu kau bersikap sebaliknya.
***************************************************************************************************************************************************************************************************************************************************************

Setelah ku buka laptop,ku baca curhatan istriku

Ayah,,mengapa keluargamu sangat membenciku Aku dihina oleh mereka ayah. Mengapa mereka bisa baik terhadapku pada saat ada dirimu ? Pernah suatu ketika, aku bertemu Dian di jalan, aku menegornya karena dia adik iparku tapi aku disambut denagn wajah ketidak sukaannya. Sangat terlihat Ayah.

Tapi ketika engaku bersamaku, Dian sangat baik, sangat manis dan ia memanggilku dengan panggilan yang sangat menghormatiku. Mengapa seperti itu ayah.

Aku tak bisa berbicara ttg ini padamu, karena aku tahu kamu pasti membela adikmu, tak ada gunanya Yah.

Aku diusir dari rumah sakit. Aku tak boleh merawat suamiku. Aku cemburu pada Desi yang sangat akrabdengan mertuaku. Tiap hari ia datang ke rumah sakit bersama mertuaku Aku sangat marah.
Jika aku membicarakn hal ini pada suamiku, ia akan pastimembela Desi dan ibunya.

Aku tak mau sakit hati lagi.
Ya Allah kuatkan aku, maafkan aku. Engkau Maha Adil. Berilah keadilan ini padaku Ya Allah

Ayah sudah berubah, ayah sudah tak sayang lagi pada ku. Aku berusaha untuk mandiri ayah, aku tak akan bermanja – manja lagi padamu.

Aku kuat ayah dalam kesakitan ini.
Lihatlah ayah, aku kuat walaupun penyakit kanker ini terus menyerangku. Aku bisa melakukan ini semua sendiri ayah.
Besok suamiku akan menikah dengan perempuan itu
Perempuan yang aku benci, yang aku cemburui. Tapi aku tak boleh egois, ini untuk kebahagian keluarga
suamiku. Aku harus sadar diri

Ayah,,sebenarnya aku tak mau diduakan olehmu

Mengapa harus Desi yang menjadi sahabatku ?

Ayah aku masih tak rela. Tapi aku harus ikhlas menerimanya Pagi nanti suamiku melangsungkan pernikahan keduanya Semoga saja aku masih punya waktu untuk melihatnya tersenyum untukku. Aku ingin sekali merasakan kasih sayangnya yang terakhir. Sebelum ajal ini menjemputku Ayah.
Aku kangen ayah
*************************************************************************************

Dan kini aku telah membawamu ke orang tuamu Bun. Aku akan mengunjungimu sebulan sekali bersama Desi ke Pulau kayu ini. Aku akan selalu membawakanmu bunga mawar yang berwana pink yang mencerminkan keceriaan hatimu yang sakit tertusuk duri.

Bunda tetap cantik, selalu tersenyum disaat tidur.

Bunda akan selalu hidup dihati ayah.

Bunda, Desi tak sepertimu, yang tidak pernah marah.

Desi sangat berbeda denganmu, ia tak pernah membersihkan
telingaku, rambutku tak pernah di creambathnya, kakiku pun tak pernah dicucinya.

Ayah menyesal telah menelantarkanmu selama 2 tahun, kamu sakit pun aku tak perduli, dalam kesendirianmu.

Seandainya Ayah tak menelantarkan Bunda, mungkin ayah masih bisa tidur dengan belaian tangan Bunda yang halus.
Sekarang Ayah sadar, bahwa ayah sangat membutuhkan bunda.

Bunda, kamu wanita yang paling tegar yang pernah kutemui.

Aku menyesal telah asik dalam keegoanku.

Bunda maafkan aku. Bunda tidur tetap manis. Senyum manjamu terlihat ditidurmu yang panjang.

Maafkan aku , tak bisa bersikap adil dan membahagiakan mu, aku selalu
meng”iya”kan apa kata ibuku, karena aku takut menjadi anak durhaka. Maafkan aku ketika kau di fitnah oleh keluargaku, aku percaya begitu saja.

Apakah Bunda akan mendapat pengganti ayah di surga sana ?

Apakah Bunda tetap menanti ayah disana ? Tetap setia di alam sana ?

Tunggulah Ayah disana Bunda…… Bisakan ? Seperti Bunda menunggu ayah di sini…… Aku mohon…..
Ayah Sayang Bunda…

Semoga cerita ini bisa menjadi pelajaran untuk kita semua yg membacanya,,,,

Kisah Mengharukan Seorang Kakak Adik

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku. Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu ditangannya. “Siapa yang mencuri uang itu?” Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, “Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!”

Dia mengangkat tongkat bambu itu tinggi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, “Ayah, aku yang melakukannya!” Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus-menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas.

Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, “Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!” Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, “Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi.”

Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus

Saya mendengarnya memberengut, “Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik… hasil yang begitu baik…” Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, “Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?” Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, “Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku. ” Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. “Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!” Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, “Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini.”

Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas.Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: “Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimimu uang.” Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20. Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas).

Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, “Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana! “Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, “Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?” Dia menjawab, tersenyum, “Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?” Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, “Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga!

Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu…” Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, “Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu.” Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis.

Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.

Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. “Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!” Tetapi katanya, sambil tersenyum, “Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu..”

Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya. “Apakah itu sakit?” Aku menanyakannya. “Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan…” Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, “Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini.” Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut.

Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi. Suatu hari, adikku di atas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, “Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?”

Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. “Pikirkan kakak ipar–ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?” Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah, “Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!”

“Mengapa membicarakan masa lalu?” Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29. Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, “Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?” Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, “Kakakku.”

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. “Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sendoknya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya.”

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, “Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku.” Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.

Bisakah kita memiliki jiwa besar seperti si adik yang seperti dalam cerita, … tapi bagaimanapun, yang namanya Saudara patut kita jaga dan kita hormati, apakah itu seorang adik atau seorang kakak. Karena apa arti hidup kalau tidak bisa membahagiakan sodara dan keluarga kita.

Kisah Mengharukan Penyesalan Seorang Ibu

Dua puluh tahun yang lalu saya melahirkan seorang anak laki-laki, wajahnya lumayan tampan namun terlihat agak bodoh.
Sam, suamiku, memberinya nama Eric. Semakin lama semakin nampak jelas bahwa anak ini memang agak terbelakang. Saya berniat memberikannya kepada orang lain saja untuk dijadikan budak atau pelayan. Namun Sam mencegah niat buruk itu.

Akhirnya terpaksa saya membesarkannya juga. Di tahun kedua setelah Eric dilahirkan saya pun melahirkan kembali seorang anak perempuan yang cantik mungil. Saya menamainya Angelica. Saya sangat menyayangi Angelica, demikian juga Sam. Seringkali kami mengajaknya pergi ke taman hiburan dan membelikannya pakaian anak-anak yang indah-indah.
Namun tidak demikian halnya dengan Eric. Ia hanya memiliki beberapa stel pakaian butut. Sam berniat membelikannya, namun saya selalu melarangnya dengan dalih penghematan uang keluarga. Sam selalu menuruti perkataan saya. Saat usia Angelica 2 tahun Sam meninggal dunia. Eric sudah berumur 4 tahun kala itu.

Keluarga kami menjadi semakin miskin dengan hutang yang semakin menumpuk. Akhirnya saya mengambil tindakan yang akan membuat saya menyesal seumur hidup. Saya pergi meninggalkan kampung kelahiran saya beserta Angelica. Eric yang sedang tertidur lelap saya tinggalkan begitu saja. Kemudian saya tinggal di sebuah gubuk setelah rumah kami laku terjual untuk membayar hutang. Setahun, 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun.. telah berlalu sejak kejadian itu.

Saya telah menikah kembali dengan Brad, seorang pria dewasa. Usia Pernikahan kami telah menginjak tahun kelima. Berkat Brad, sifat-sifat buruk saya yang semula pemarah, egois, dan tinggi hati, berubah sedikit demi sedikit menjadi lebih sabar dan penyayang. Angelica telah berumur 12 tahun dan kami menyekolahkan dia di asrama putri sekolah perawatan. Tidak ada lagi yang ingat tentang Eric dan tidak ada lagi yang mengingatnya.

Sampai suatu malam. Malam di mana saya bermimpi tentang seorang anak. Wajahnya agak tampan namun tampak pucat sekali. Ia melihat ke arah saya. Sambil tersenyum ia berkata, “Tante, Tante kenal mama saya? Saya lindu
cekali pada Mommy!”
Setelah berkata demikian ia mulai beranjak pergi, namun saya menahannya, “Tunggu…, sepertinya saya mengenalmu. Siapa namamu anak manis?”
“Nama saya Elic, Tante.”
“Eric? Eric… Ya Tuhan! Kau benar-benar Eric?”
Saya langsung tersentak dan bangun. Rasa bersalah, sesal dan berbagai perasaan aneh lainnya menerpa diri saya saat itu juga. Tiba-tiba terlintas kembali kisah ironis yang terjadi dulu seperti sebuah film yang diputar dikepala saya. Baru sekarang saya menyadari betapa jahatnya perbuatan saya dulu.Rasanya seperti mau mati saja saat itu. Ya, saya harus mati…, mati…, mati… Ketika tinggal seinchi jarak pisau yang akan saya goreskan ke pergelangan tangan, tiba-tiba bayangan Eric melintas kembali di pikiran saya. Ya Eric, Mommy akan menjemputmu Eric…

Sore itu saya memarkir mobil biru saya di samping sebuah gubuk, dan Brad dengan pandangan heran menatap saya dari samping. “Mary, apa yang sebenarnya terjadi?”
“Oh, Brad, kau pasti akan membenciku setelah saya menceritakan hal yang telah saya lakukan dulu.” tTpi aku menceritakannya juga dengan terisak-isak…
Ternyata Tuhan sungguh baik kepada saya. Ia telah memberikan suami yang begitu baik dan penuh pengertian. Setelah tangis saya reda, saya keluar dari mobil diikuti oleh Brad dari belakang. Mata saya menatap lekat pada gubuk yang terbentang dua meter dari hadapan saya. Saya mulai teringat betapa gubuk itu pernah saya tinggali beberapa bulan lamanya dan Eric..Eric…
Saya meninggalkan Eric di sana 10 tahun yang lalu.

Dengan perasaan sedih saya berlari menghampiri gubuk tersebut dan membuka pintu yang terbuat dari bambu itu. Gelap sekali… Tidak terlihat sesuatu apa pun! Perlahan mata saya mulai terbiasa dengan kegelapan dalam ruangan kecil itu.
Namun saya tidak menemukan siapapun juga di dalamnya. Hanya ada sepotong kain butut tergeletak di lantai tanah. Saya mengambil seraya mengamatinya dengan seksama… Mata mulai berkaca-kaca, saya mengenali potongan kain tersebut sebagai bekas baju butut yang dulu dikenakan Eric sehari-harinya…

Beberapa saat kemudian, dengan perasaan yang sulit dilukiskan, saya pun keluar dari ruangan itu…. Air mata saya mengalir dengan deras. Saat itu saya hanya diam saja. Sesaat kemudian saya dan Brad mulai menaiki mobil untuk meninggalkan tempat tersebut. Namun, saya melihat seseorang di belakang mobil kami. Saya sempat kaget sebab suasana saat itu gelap sekali. Kemudian terlihatlah wajah orang itu yang demikian kotor. Ternyata ia seorang wanita tua. Kembali saya tersentak kaget manakala ia tiba-tiba menegur saya dengan suaranya yang parau.
“Heii…! Siapa kamu?! Mau apa kau kemari?!”
Dengan memberanikan diri, saya pun bertanya, “Ibu, apa ibu kenal dengan seorang anak bernama Eric yang dulu tinggal di sini?”
Ia menjawab, “Kalau kamu ibunya, kamu sungguh perempuan terkutuk! Tahukah kamu, 10 tahun yang lalu sejak kamu meninggalkannya disini, Eric terus menunggu ibunya dan memanggil, ‘Mommy…, mommy!’ Karena tidak tega, saya terkadang memberinya makan dan mengajaknya tinggal bersama saya. Walaupun saya orang miskin dan hanya bekerja sebagai pemulung sampah, namun saya tidak akan meninggalkan anak saya seperti itu! Tiga bulan yang lalu Eric meninggalkan secarik kertas ini. Ia belajar menulis setiap hari selama bertahun-tahun hanya untuk menulis ini untukmu…”

Saya pun membaca tulisan di kertas itu…
“Mommy, mengapa Mommy tidak pernah kembali lagi…? Mommy marah sama Eric, ya? Mom, biarlah Eric yang pergi saja, tapi Mommy harus berjanji kalau Mommy tidak akan marah lagi sama Eric. Bye, Mom…”
Saya menjerit histeris membaca surat itu. “Bu, tolong katakan… katakan di mana ia sekarang? Saya berjanji akan meyayanginya sekarang! Saya tidak akan meninggalkannya lagi, Bu! Tolong katakan..!!”
Brad memeluk tubuh saya yang bergetar keras.

“Nyonya, semua sudah terlambat. Sehari sebelum nyonya datang, Eric telah meninggal dunia. Ia meninggal di belakang gubuk ini. Tubuhnya sangat kurus, ia sangat lemah. Hanya demi menunggumu ia rela bertahan di belakang gubuk ini tanpa ia berani masuk ke dalamnya. Ia takut apabila Mommy-nya datang, Mommy-nya akan pergi lagi bila melihatnya ada di dalam
sana… Ia hanya berharap dapat melihat Mommy-nya dari belakang gubuk ini… Meskipun hujan deras, dengan kondisinya yang lemah ia terus bersikeras menunggu Nyonya di sana.”
Saya kemudian pingsan dan tidak ingat apa-apa lagi.

KISAH PALING MENYEDIHKAN ANAK YANG DIPOTONG TANGANNYA

Sepasang suami isteri - seperti pasangan lain di kota-kota besar meninggalkan anak-anak diasuh pembantu rumah sewaktu bekerja. Anak tunggal pasangan ini, perempuan cantik berusia tiga setengah tahun. Sendirian ia di rumah dan kerap kali dibiarkan pembantunya karena sibuk bekerja di dapur. Bermainlah dia bersama ayun-ayunan di atas buaian yang dibeli ayahnya, ataupun memetik bunga dan lain-lain di halaman rumahnya.

Suatu hari dia melihat sebatang paku karat. Dan ia pun mencoret lantai tempat mobil ayahnya diparkirkan , tetapi karena lantainya terbuat dari marmer maka coretan tidak kelihatan. Dicobanya lagi pada mobil baru ayahnya. Ya… karena mobil itu bewarna gelap, maka coretannya tampak jelas. Apalagi anak-anak ini pun membuat coretan sesuai dengan kreativitasnya.

Hari itu ayah dan ibunya bermotor ke tempat kerja karena ingin menghindari macet. Setelah sebelah kanan mobil sudah penuh coretan maka ia beralih ke sebelah kiri mobil. Dibuatnya gambar ibu dan ayahnya, gambarnya sendiri, lukisan ayam, kucing dan lain sebagainya mengikut imaginasinya. Kejadian itu berlangsung tanpa disadari oleh si pembantu rumah.

Saat pulang petang, terkejutlah pasangan suami istri itu melihat mobil yang baru setahun dibeli dengan bayaran angsuran yang masih lama lunasnya. Si bapak yang belum lagi masuk ke rumah ini pun terus menjerit, “Kerjaan siapa ini !!!” …. Pembantu rumah yang tersentak engan jeritan itu berlari keluar. Dia juga beristighfar. Mukanya merah adam ketakutan lebih-lebih melihat wajah bengis tuannya. Sekali lagi diajukan pertanyaan keras kepadanya, dia terus mengatakan ‘ Saya tidak tahu..tuan.” “Kamu dirumah sepanjang hari, apa saja yg kau lakukan?” hardik si isteri lagi.

Si anak yang mendengar suara ayahnya, tiba-tiba berlari keluar dari kamarnya. Dengan penuh manja dia berkata “Dita yg membuat gambar itu ayahhh.. cantik …kan!” katanya sambil memeluk ayahnya sambil bermanja seperti biasa.. Si ayah yang sudah hilang kesabaran mengambil sebatang ranting kecil dari pohon di depan rumahnya, terus dipukulkannya berkali-kali ke telapak tangan anaknya . Si anak yang tak mengerti apa apa menagis kesakitan, pedih sekaligus ketakutan. Puas memukul telapak tangan, si ayah memukul pula belakang tangan anaknya.

Sedangkan Si ibu cuma mendiamkan saja, seolah merestui dan merasa puas dengan hukuman yang dikenakan. Pembantu rumah terbengong, tidak tahu harus berbuat apa… Si ayah cukup lama memukul-mukul tangan kanan dan kemudian ganti tangan kiri anaknya. Setelah si ayah masuk ke rumah diikuti si ibu, pembantu rumah tersebut menggendong anak kecil itu, membawanya ke kamar.

Dia terperanjat melihat telapak tangan dan belakang tangan si anak kecil luka-luka dan berdarah. Pembantu rumah memandikan anak kecil itu. Sambil menyiramnya dengan air, dia ikut menangis. Anak kecil itu juga menjerit-jerit menahan pedih saat luka-lukanya itu terkena air. Lalu si pembantu rumah menidurkan anak kecil itu. Si ayah sengaja membiarkan anak itu tidur bersama pembantu rumah. Keesokkan harinya, kedua belah tangan si anak bengkak. Pembantu rumah mengadu ke majikannya. “Oleskan obat saja!” jawab bapak si anak.

Pulang dari kerja, dia tidak memperhatikan anak kecil itu yang menghabiskan waktu di kamar pembantu. Si ayah konon mau memberi pelajaran pada anaknya. Tiga hari berlalu, si ayah tidak pernah menjenguk anaknya sementara si ibu juga begitu, meski setiap hari bertanya kepada pembantu rumah. “Dita demam, Bu”…jawab pembantunya ringkas. “Kasih minum panadol aja ,” jawab si ibu. Sebelum si ibu masuk kamar tidur dia menjenguk kamar pembantunya. Saat dilihat anaknya Dita dalam pelukan pembantu rumah, dia menutup lagi pintu kamar pembantunya.

Masuk hari keempat, pembantu rumah memberitahukan tuannya bahwa suhu badan Dita terlalu panas. “Sore nanti kita bawa ke klinik.. Pukul 5.00 sudah siap” kata majikannya itu. Sampai saatnya si anak yang sudah lemah dibawa ke klinik. Dokter mengarahkan agar ia dibawa ke rumah sakit karena keadaannya susah serius. Setelah beberapa hari di rawat inap dokter memanggil bapak dan ibu anak itu. “Tidak ada pilihan..” kata dokter tersebut yang mengusulkan agar kedua tangan anak itu dipotong karena sakitnya sudah terlalu parah dan infeksi akut…”Ini sudah bernanah, demi menyelamatkan nyawanya maka kedua tangannya harus dipotong dari siku ke bawah” kata dokter itu. Si bapak dan ibu bagaikan terkena halilintar mendengar kata-kata itu. Terasa dunia berhenti berputar, tapi apa yg dapat dikatakan lagi.

Si ibu meraung merangkul si anak. Dengan berat hati dan lelehan air mata isterinya, si ayah bergetar tangannya menandatangani surat persetujuan pembedahan. Keluar dari ruang bedah, selepas obat bius yang disuntikkan habis, si anak menangis kesakitan. Dia juga keheranan melihat kedua tangannya berbalut kasa putih. Ditatapnya muka ayah dan ibunya. Kemudian ke wajah pembantu rumah. Dia mengerutkan dahi melihat mereka semua menangis. Dalam siksaan menahan sakit, si anak bersuara dalam linangan air mata. “Ayah.. ibu… Dita tidak akan melakukannya lagi…. Dita tak mau lagi ayah pukul. Dita tak mau jahat lagi… Dita sayang ayah..sayang ibu.”, katanya berulang kali membuatkan si ibu gagal menahan rasa sedihnya. “Dita juga sayang Mbok Narti..” katanya memandang wajah pembantu rumah, sekaligus membuat wanita itu meraung histeris.

“Ayah.. kembalikan tangan Dita. Untuk apa diambil.. Dita janji tidak akan mengulanginya lagi! Bagaimana caranya Dita mau makan nanti ?… Bagaimana Dita mau bermain nanti ?… Dita janji tidak akan mencoret-coret mobil lagi, ” katanya berulang-ulang. Serasa hancur hati si ibu mendengar kata-kata anaknya. Meraung-raung dia sekuat hati namun takdir yang sudah terjadi tiada manusia dapat menahannya. Nasi sudah jadi bubur. Pada akhirnya si anak cantik itu meneruskan hidupnya tanpa kedua tangan dan ia masih belum mengerti mengapa tangannya tetap harus dipotong meski sudah minta maaf…Tahun demi tahun kedua orang tua tersebut menahan kepedihan dan kehancuran bathin sampai suatu saat Sang Ayah tak kuat lagi menahan kepedihannya dan wafat diiringi tangis penyesalannya yg tak bertepi…, Namun…., si Anak dengan segala keterbatasan dan kekurangannya tersebut tetap hidup tegar bahkan sangat sayang dan selalu merindukan ayahnya..

Sumber : dikutip dari milis EMBA


Mengharukan...Cara Bapak Membahagiakan Anaknya

"Karena hujan yg tidak kunjung berhenti, akhirnya saya memutuskan menerobos hujan, karena hari sudah malam...

Dan sampai di Cikini, perut udah ga bisa diajak kompromi, akhirnya saya memutuskan mampir di warung nasi tenda dipinggir jalan..

lagi asik asiknya menikmati pecel lele, masuklah seorang bapak, dg istri & 2 anaknya..

Yang menarik adalah kendaraan mereka adalah gerobak dorong..

Lalu bapak ini memesan 2 piring nasi & ayam goreng untuk istri & anaknya.

Sesekali saya melihat anak ini tertawa senang sekali,& sangat menikmati ayam goreng yg dipesan oleh bapaknya..

Pertamanya sih ga ada yg menarik, tetapi ketika saya selesai makan, ada yg menarik hati saya..Ternyata, yg menikmati makanan itu hanya istri dan anaknya. Sedangkan sang bapak hanya melihat istri & anaknya menikmati makanan ini.

Saya perhatikan, wajah sang bapak, walau tampak kelelahan terlihat senyum bahagia di wajahnya..

Lalu saya mendengar dia berkata..

" makan yg puas Nak, toh..hari ini tanggal kelahiranmu.."

Saya terharu mendengarnya..Langsung terenyuh hati ini.seorang bapak, dgn keterbatasannya, sebagai (mungkin) pemulung.. memberi ayam goreng warung tenda dipinggir jalan , untuk hadiah anaknya..

Hampir mau menangis rasanya saya diwarung itu..

Segera sebelum air mata ini tumpah, saya berdiri,& membayar makanan saya,& juga dengan pelan pelan saya bilang sama penjaga warung...

"mas, tagihan bapak itu, saya yg bayar..dan tolong tambahin ayam goreng dan tahu tempe" Lalu lekas lekas saya pergi.

Tetapi bagi org disekitar kita, pecel lele dipinggir jalan, adalah makanan mewah buat dia....

kisah ini kutulis, untuk bahan perenungan.. Bahwa Tuhan sudah memberikan yg terbaik untuk saya saat ini..., kita biasa makan di Sushi-Tei, Kentucky, Mc Donald, Hoka Hoka Bento, Pizza Hut dsb...

Sungguh tak pantas bagi saya untuk mengeluh ... Rasa syukur akan mengantarkan rasa bahagia ..."